INTERAKSI OBAT ANTI HIPERTENSI PADA
FASE FARMAKODINAMIK
Kelompok VII
Yusuf Abdul Bahri
Winda Karnelia Putri
Siska Br Sembiring
Dwi Astuti
Mirna Lisna
A. Pendahuluan
Interaksi
obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain (interaksi
obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain.
Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan
bersama-sama (Anonim a, 2011).
Interaksi
obat dan efek samping obat perlu mendapat perhatian. Sebuah studi di Amerika
menunjukkan bahwa setiap tahun hampir 100.000 orang harus masuk rumah sakit atau
harus tinggal di rumah sakit lebih lama dari pada seharusnya, bahkan hingga
terjadi kasus kematian karena interaksi atau efek samping obat. Pasien yang
dirawat di rumah sakit sering mendapat terapi dengan polifarmasi (6-10 macam
obat), sehingga sangat mungkin terjadi interaksi obat (Anonim a, 2011).
Interaksi
obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas atau pengurangan
efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan
batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida
jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu
diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama-sama (Anonim a, 2011).
Ada
tiga jenis interaksi obat, yaitu interaksi farmasetis, farmakokinetik, dan
farmakodinamik (Dalimunte A., 2009).
1. Interaksi
Farmasetis
Interaksi
farmasetis adalah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat obat
diformulasikan / disiapkan sebelum obat digunakan oleh penderita. Misalnya
interaksi antara obat dan larutan infus
IV yang dicampur bersamaan dapat menyebabkan pecahnya emulsi atau terjadi
pengendapan.
2. Interaksi
Farmakokinetik
Pada
interaksi ini obat mengalami perubahan pada proses absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi yang disebabkan karena adanya obat atau senyawa lain.
3. Interaksi
Farmakodinamik
Interaksi ini terjadi bila sesuatu
obat secara langsung merubah aksi molekuler atau kerja fisiologis obat lain.
Kemungkinan yang dapat terjadi :
1)
Obat-obat
tersebut menghasilkan kerja yang sama pada satu organ (sinergisme).
2)
Obat-obat
tersebut kerjanya saling bertentangan ( antagonisme ).
3)
Obat-obat
tersebut bekerja independen pada dua tempat terpisah.
Interaksi yang kerap terjadi
biasanya adalah interaksi farmakodinamik dan interaksi farmakokinetik.
Farmakodinamik dapat diartikan efek obat terhadap tubuh sedangkan
farmakokinetik adalah nasib obat dalam tubuh. Contoh interaksi farmakodinamik
adalah interaksi antara 2 atau lebih obat yang mengakibatkan adanya kompetensi
dalam pendudukan reseptor sehingga meniadakan salah satu efek dari obat yang
digunakan. Sedangkan contoh dari interaksi farmakokinetik adalah interaksi 2
obat atau lebih yang mengakibatkan obat tertentu cepat dibuang dalam tubuh atau
lambat dibuang dalam tubuh, akibatnya waktu paruh obat menjadi berbeda dari
biasanya.
Akibat dari interaksi obat :
a. Efek Sinergis : 1 + 1 = 10
Obat A dan obat B digunakan bersamaan sehingga memberikan
efek yang berlipat ganda.
b. Efek Antagonis : 1 + 1 = 1
Obat A dan obat B digunakan bersamaan sehingga memberikan
efek meniadakan salah satu dari efek obat.
c. Efek Additif : 1 + 1 = 2
Obat A dan obat B digunakan bersamaan sehingga memberikan
efek ganda.
Dalam menyikapi interaksi obat ini,
hal-hal yang perlu diperhatikan adalah cara pencegahan terjadinya interaksi
dengan “memainkan” waktu pemberian obat, misal Obat A diberikan pada jam 8 dan
obat B diberikan pada jam 12. Ada juga teknik-teknik lain untuk menghindarinya,
yaitu dengan meningkatkan / menurunkan dosis pemberian obat ketika waktu
pemberian obat tidak dapat diubah. Misal dosis obat A dapat dinetralkan oleh
obat B jika digunakan bersamaan, maka dosis obat A diberikan berlebih (Perdana,
2011).
B.
Interaksi
obat Anti Hipertensi
·
Beta-bloker
dengan diuretika.
Percobaan
di klinik menunjukkan bahwa kombinasi beta-blocker dengan diuretika diperoleh
kerja anti hipertensi yang lebih baik. Dalam hal ini tidak terjadi postural
hipotensi dan tachycardi yang disebabkan oleh diuretika (thiazide) dan juga
peninggian plasma renin akibat pemberian diuretika akan dikurangi oleh
beta-blocker. Kombinasi obat ini akan menghasilkan effek terapi yang lebih
baik. Ternyata efek sampingnya akan berkurang. Pemberian hydralazine yang
menimbulkan reflex tachycardi akan berkurang bila pemberiannya dikombinasikan
dengan beta-blocker (Anonim b, 2009).
·
Beta-bloker
dengan serotonin
Beta-bloker dapat
meningkatkan resistensi saluran nafas pada pasien asma, penggunaan serotonin
memberikan efek potensiasi Β-bloker sehingga memperkuat bronkospasme pada
penderita asma (Anonim b, 2009).
·
Propanolol
dengan obat hiperglikemi
Propranolol menghambat glikogenolisis di sel hati dan otot
rangka, sehingga mengurangi efek hiperglikemia dan epinefrin. Akibatnya,
kembalinnya kadar gula darah pada hipoglikemia (misalnya oleh insulin) ke
keadaan normal diperlambat (Anonim b, 2009).
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim b. (2009). Antagonis Adrenoseptor B (β-Bloker). Diakses tanggal 30 Desember
2012. www.dokterumum.net
Dalimunte, A. (2009). Interaksi pada obat
antmikroba. Diakses tanggal 30 Desember 2012.
www.repository.usu.ac.id
Perdana, Putra. (2011). Interaksi Obat. Diakses tanggal 30 Desember 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar